Lebaran ini dataran tinggi Dieng tanpa macet. Sepanjang jalan kami menemui lenggang, sabtu siang. Turun dari desa Wadas Putih, kami menyempat berhenti. Cekrek.
Ada banyak jawaban menyoal sepinya Dieng. tentu, kita mafhum. Semua sedang prihatin. Menahan diri sembari menebalkan rasa sabar. Usaha membarengi doa mengharap covid 19 lekas berlalu.
Memang, beberapa angkutan umum ; angkot, bus mikro, mulai terlihat beroperasi. Angkot warna kuning jurusan Wonosobo-Garung bersliweran. Bus mikro Batur-Sobo pun perlahan menapak jalan.
Meski belum banyak penumpang, roda kehidupan mesti berputar.
Mencatat Dieng, saya jadi ingat buku berjudul Kolodete. Buku novel bercerita kisah Ki Kolodete, tokoh keramat tanah Dieng. Kolodete adalah tokoh penyebar Islam berambut gimbal.
Hingga kini masyarakat setempat menganggap keberadaan anak gimbal Dieng tak lepas dari Kiai Kolodete. Untuk mencukur rambut gimbal kudu dilakukan prosesi tertentu. Sebelum cukur, keluarga si anak gimbal juga harus menuruti permintaan si anak.
Meski makam Kiai Kolodete sampai sekarang masih misteri, jejak keberadaannya bisa terlacak dari keberadaan makam sepuh lainnya. Seperti makam Syekh Selomanik di Desa Kalilembu, makam Syekh Qutbuddin di Candirejo, hingga makam Kiai Walik di Kauman. Ketiga Syekh ini disebut semasa dengan Kiai Kolodete.
Jika dirunut lebih jauh, ada peran Sunan Kalijaga.Kiai Kolodete disebut masuk Islam lewat Sunan Kalijaga.
Meski di kawasan Dieng berdiri candi tertua di Jawa - dibangun abad ke 7 hingga 9 masehi- atas berkat rahmat Allah dan kegigihan para pendakwah, Dieng menjadi lahan subur dakwah Islam.
Satu diantara nama pendakwah itu. Kiai Kolodete.
Komentar
Posting Komentar