MI MA’ARIF DAN SANTRI KECIL

Sesuai namanya, ibtida berarti permulaan atau kawitan. Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif menjadi sekolah tingkat awal dibawah Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif. Sebagai salah satu Lembaga NU, Ma’arif tentu saja bergerak dalam bingkai besar Nahdlatul Ulama. Ini mafhum.

Ma’arif tanpa tambahaan akronim NU, sudah pasti NU. Namun, agaknya sangking bangganya pada organisasi, tak jarang ada yang masih memberi embel kata NU dibelakang Ma’arif dalam penyebutannya. Salah satunya di Madrasah kami. MI Ma’arif NU Klesman desa Blederan kecamatan Mojotengah kabupaten Wonosobo.

Sejarah Berdiri

Madrasah Ibtidaiyah (MI) Klesman berdiri pada tahun 1965, berawal dari Madrasah Wajib Belajar (MWB).MWB ini beralamat di Klesman Blederan Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo. Lembaga ini bernaung di bawah kepengurusan yayasan yang bernama “Yayasan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul ‘Ulama” (LPMNU). Didukung keinginan masyarakat Klesman untuk mencerdaskan segenap warganya, menjadi pemicu didirikannya madrasah dengan jenjang pendidikan setingkat Sekolah Rakyat (SR).

Pada tahun 1969 Madrasah Wajib Belajar (MWB) diubah namanya dan diaktekan pada Departemen Agama sehingga sampai sekarang masyarakat mengenalnya dengan nama “Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Klesman”. Semula Kegiatan Belajar Mengajar dilaksanakan di gedung yang tanahnya merupakan wakaf dari donatur yang sebenarnya wakaf tersebut diperuntukan untuk pembangunan masjid, namun masyarakat setuju dan sepakat tanah tersebut untuk didirikan madrasah.

Kurang lebih tahun 1998 Yayasan LPMNU Klesman mempunyai wacana ke depan untuk memajukan MI dan menjaga eksistensinya, akan tetapi Pengurus Yayasan LPMNU Klesman memiliki keinginan untuk mempunyai tanah dengan status kepemilikan yang syah menurut hukum, sehingga pada akhirnya yayasan didukung oleh masyarakat menghimpun dana guna membeli tanah yang letaknya di bawah Gedung Serba Guna. Tanah seluas ± 1.250 m2 kemudian didirikan gedung untuk kegiatan belajar siswa MI Ma’arif Klesman. Dengan tekad yang bulat dan baik dari pengurus yayasan dan juga dukungan dari masyarakat sehingga gedung yang merupakan pusat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) itu, sekarang berdiri dengan megahnya di atas tanah milik sendiri (Yayasan LP Ma’arif NU). Bahkan yayasan telah mengaktekan tanah ke Notaris dan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, sebagai fondasi yang kuat guna kelangsungan pembelajaran, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Dan pada tahun 2018 BP3MNU menambah pengembangan lokasi dengan membeli tanah 1.000 m2 telah dibangun laboratorium komputer beserta isinya yang berlokasi ke utara dari kampus utama ± 35 m.

Animo Masyarakat

Banyak alasan orang tua memasukkan anaknya ke Madrasah Ma’arif. Selain tertarik pada ciri khas Madrasah yang ngaji, menitik beratkan pada pelajaran bermuatan agama. Kebanyakan juga memilih ma’arif sebab kecintaannya pada Nahdhatul Ulama itu sendiri.

Ini paling tidak saya temui di madrasah tempat penulis berkhidmat. Banyak dari wali murid merupakan anggota NU, baik struktural maupun kultural. Tak sedikit yang jadi anggota aktif badan mulai dari Ansor, Fatayat dan Muslimat. Pemandangan menarik soal ini seringkali terlihat. Tatkala mengantar atau menjemput anakanya, ada wali murid berstelan jas kebesaran Ansor dan jaket banser. Juga, ini yang membikin hati kian gembira, ada peserta didik yang melapisi seragam sekolahnya dengan jaket banser. Jadilah ia si banser cilik.

Fenomena ini jelas patut disyukuri. Kecintaan dan kesadaran warga Nahdliyin untuk menyekolahkan buah hatinya ke lembaga ma’arif kian meningkat. Di kabupaten Wonosobo, sebagaimana pernah dirilis LP Ma’arif Wonosobo, ada angka kenaikan signifikan jumlah peserta didik di lingkungan Lembaga Ma’arif tiap tahunnya.

Menurut penulis, fanatisme warga NU pada organisasi melonjak secara signifikan pada masa dan pasca pilpres 2019. Terlebih usai terpilihnya, Rais Syuriah Nahdlotul Ulama k KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden. Pilpres yang terakhir digelar menuai berkah tersendiri bagi kalangan Nahdliyin.

Ada kesadaran warga Nahdliyin untuk bergerak lebih aktif dalam membesarkan organisasi. Mulai dari aktif di kegiatan NU dan bermacam badan otonomnya, maraknya penggalangan koin untuk kemajuan organisasi, riuhnya kegiatan pengkaderan, termasuk kesadaran untuk menyekolahkan putra-putri Nahdliyyin di Madrasah atau Sekolah berbasis Ma’arif.

Madrasah atau sekolah Ma’arif termasuk MI Ma’arif sebagai tingkat dasar di lingkungan LP Ma’arif bukan lagi dianggap alternatif. Tapi pilihan utama. Para orang tua tak ragu untuk mendaftarkan anaknya ke Ma’arif. Sebagian bahkan rela ‘indent’ kursi Madrasah.

Fakta ini berkebalikan 180 derajat dengan kondisi Madrasah Ma’arif di masa sebelumnya. Ketika Madrasah dicap kurang disiplin dan terkesan apa adanya. Jam istirahat di Madrasah yang panjang dan kepanjangan. Guru tak tepat waktu. Dan kualitas pembelajaran yang wallahu a’lam bisshowab.

Dan tentu saja, besarnya animo masyarakat ke LP Ma’arif ini berbanding lurus dengan tuntutan warga NU pada kualitas Pendidikan Ma’arif. Model madrasah yang adaptif, bersaing dan kuat akan ciri khas kenahdliyinan kian dinantikan.

Santri Kecil

Waktu menunjuk pukul 06.00 pagi. Ketika pengeras suara madrasah mulai menyala. Lamat-lamat suara bergema. Pak Hendra memutar bacaan murottal Al Qur’an nan indah. Kalam suci segera memenuhi langit madrasah. Perlahan namun pasti, guru lain mulai datang. Utamanya guru piket hari itu.

Guru piker bersegera mengerjakan tugas. Pintu-pintu kelas dibuka. Bendera merah putih dikibarkan. Meraih sapu untuk membersihkan halaman. Hingga menyambut kedatangan siswa.

Satu dua siswa akhirnya tiba di Madrasah. Mereka diantar orang tua. Baik berkendara ataupun jalan kaki bagi yang rumahnya tak jauh dari madrasah. Anak-anak menuju gerbang madrasah. Disana telah ada bapak dan ibu guru. Saling menjawab salam pun terjadi. Dengan tanpa salaman. Anak-anak dan bapak ibu guru menggenakan masker.

Sebelum masuk lingkungan madrasah, anak-anak mengukur suhu secara mandiri pada alat yang tersedia. Bila bersuhu normal, mereka baru diperkenankan masuk madrasah. Anak-anak lalu cuci tangan dengan sabun di halaman. Usai itu kaki-kaki kecil berjalan riang menuju kelasnya.

Sejenak berlalu, ketika jam dinding menunjuk pukul 06.50 pagi. Shalawat nariyah dan Asmaul Husna mulai mengalun. Fadhil Ahmad Khudori, siswi kelas 6 KH. Bisyri Syamsuri mendapat tugas membaca di pengeras suara pagi itu. Ia membaca shalawat dan 99 Asma Allah dengan semangat lagi fasih. Siswa lain yang berada di kelas mengikuti wadhifah Madrasah dengan tertib. Mereka dibimbing wali kelas masing-masing.

Usai Asmaul Husna, anak-anak membaca doa belajar. Selanjutnya, mereka lalaran nadzam fiqih jawan. Sebagian dengan membaca buku pembiasaannya. Lainnya, telah hafal di luar kepala.



Saben wong kang nglakoni sholat kudu sesuci
Sebab sholat ora ketompa anging wes suci


Rupane ngilangi najis lan adus lan wudhu
Carane nindaake nganggo sucine banyu

Dene rupane banyu suci banyu kang metu
Songko langit lan bumi tanpo najis yang telu

Mukhoffafah mutawasitoh lan mugholadhoh
Kabeh yen ngenani dak suci mungguhe Allah

Mereka asyik menazamkan syiiran berisi bab ubudiyah fiqih itu. Bab demi bab. Dari tatacara bersuci, cara berwudhu, hingga sarat dan rukun shalat dibaca pagi itu. Setelah lalaran, pembiasaan ditutup dengan pembacaan shalawat Nadhliyah gubahan KH. Hasan Abdul Wafi.

Shalawat dan Asmaul Husna rutin dibaca setiap hari. Terkecuali hari Jum’at. Khusus Jum’at, Guru mengajak anak-anak tahlilan. Dipimpin seorang guru penanggung jawab keagamaan madrasah, anak-anak mengikuti tahlilan. Sebelum tahlil dimulai, terkadang guru memberi refleksi tentang manfaat tahlil.

“ Anak-anak sekalian, apakah kalian pernah memiliki pengalaman lampu di rumah mati ketika malam hari ? “ tanya pak guru.

“ Pernah Pak” serentak anak-anak menjawab.

“ Nah, agar tidak gelap gulita, ketika lampu mati kita menghidupkan lilin, senter hingga lampu charger. Sama halnya, tahlil yang akan kita baca bersama, nanti akan menjadi cahaya yang terang benderang kakek, nenek, orang tua atau saudara kita yang telah meninggal di alam qubur”

“ Anak-anak sekalian, apakah pahala dan doa yang kita sampaikan dalam tahlilan bisa sampai kepada ahli kubur kita sekalian ? ”

“ Sampai Pak “ jawab anak-anak serentak.

Demikianlah. Sepenggal cerita pembiasaan pagi di Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Klesman. Pembiasaan serupa tentu lazim dilaksanakan di MI atau SD Ma’arif lain. Sebuah ciri khas yang kudu dilestarikan.

Di lembaga Pendidikan Ma’arif, sejak dini anak-anak dikenalkan amaliyah warga Nahdliyiin. Anak-anak dibiasakan membaca ragam shalawat : nariyah, asyghil, thibbil qulub hingga nahdliyah. Belajar tahlilan, ziarah kubur ke makam orang tua dan ulama, melantunkan syari dan puji-pujian, praktik shalat fardhu dengan membaca doa iftitah Allahu akbar kabiraa, doa qunut subuh, sampai mujahadah.

Tak cukup disitu. Lembaga Pendidikan Ma’arif secara konsen mengenalkan sejarah, nama dan gambar tokoh NU, lambang banom, hingga tradisi berpakaian seperti berpeci dan bersarung. Semua yang disebut penting, agar anak-anak kian akrab dengan amaliyah dan tradisi khas NU.

Anak-anak ditempa untuk dengan kebiasaan yang diajarkan para Kyai, dan Guru-guru di Pondok Pesantren. Mereka ibarat santri-santri kecil yang terus disemai pupuk agar bertumbuh kembang dengan baik.

Di MI Ma’arif Klesman anak-anak akrab dengan kata santri. Hampir saban hari kata santri terucap di madrasah. Tak semata pada hari santri. Ini lantaran buku pembiasaan madrasah berjudul ‘santri kecil’. Buku santri kecil berisi hafalan anak-anak. Dari surat pendek, hadis dan doa harian. Dibagian akhir, buku juga berisi ragam shalawat, nadzam fiqih jawan.

Akrabnya siswa dengan kata santri agaknya jadi inspirasi siswa untuk menjadi santri sejatinya di kemudian hari. Banyak alumni MI Ma’arif Klesman memilih melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren. Baik dalam kota seperti Pondok Pesantren Al Mubarok Manggisan, Pondok Pesantren Pelita Al Qur’an. Juga luar kota seperti Pondok Pesantren Syubbanul Wathon Magelang, Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, hingga Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Jawa Timur.

Ada kesyukuran tersendiri kala tahu sebagian alumni melanjutkan ke Pesantren. Jika pada dasawarsa sebelumnya tujuan favorit siswa adalah SMP negeri. Kini tempat favorit itu bergeser. Pondok Pesantren telah jadi impian siswa kelas akhir. Slogan mondok itu keren nampaknya mulai meresap di hati anak-anak.

Meningkatnya minat mondok juga jadi indikasi berhasilnya penggalakkan hari santri nasional. Siapa sekarang yang tidak tahu santri. Hari santri telah diperingati resmi oleh negara. Meski tidak tanggal merah.

Sebelum pandemi peringatan hari santri selalu diperingati meriah. Pondok Pesantren seantero negeri merayakan dengan penuh kesyukuran. Upacara hari santri, mujahadah, istigatsah digelar dimana-mana.

Peran Pondok Pesantren di tengah Pendidikan nasional kian disorot. Bagaimana tidak, kini banyak yang menyebut Pesantren jadi benteng moral bangsa. Pola Pendidikan yang dikembangkan di Pesantren dirasa efektif dalam penanaman moral mulia. Santri sebagai pelajar Islam kian dinantikan kiprahnya.

Lebih dari itu. Peringatan hari santri secara nasional kian membuka tabir sejarah besarnya peran santri dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Kyai dan santri diakui menjadi salah satu garda terdepan dalam usaha meraih kemerdekaan. Lahirnya hari pahlawan tanggal 10 november tak lepas dari kontribusi pesantren.

Perang semesta tanggal 10 november di Surabaya mengada berkat resolusi jihad guru besar Pesantren, Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang tak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama.

Sejarah sudah mengungkap fakta kontribusi besar Pondok Pesantren bagi bangsa Indonesia dan dunia Islam. Sejak dahulu, kini dan fainsyaAllah nanti. Selama generasi penerus Nahdlatul Ulama terus disemai dengan baik. Dan MI Ma’arif jadi salah satu tempat baik persemaian itu. Wallahu A’lam.

---- Artikel ini menjadi juara 3 dalam lomba Hari Santri Nasional Wonosobo 2021 

Komentar